Sunday, April 22, 2007

Upacara Kematian

Berita kematian itu datang dengan datar dan tanpa tekanan. Mungkin karena lelah mencariku. Mungkin karena aku pernah mendengarnya, entah kapan. Ya, kataku, aku akan pulang. Tapi tidak malam ini. Aku sedang rapat akhir tahun di Kota S. Kota yang terlalu kecil untuk bisa mengantarku pulang di tengah malam hujan seperti ini. Telepon kumatikan, dan aku kembali melanjutkan percakapan dengan teman-temanku, yang sempat terputus.

Tak ada apa-apa, kataku, ketika seorang teman, entah tahu dari mana, bertanya, ''Ada apa?'' Lalu kami kembali larut dalam percakapan. Tertawa, saling mengejek kembali sembari menyusun rencana-rencana tahun depan. Tapi jari-jariku tanpa kupesan telah menulis pesan, 'Bisa enggak aku pulang seharian besok, nenekku meninggal'. Lalu pintu kamar diketuk, penerima pesan yang bertengkuluk itu menjawab langsung, ''Ya, kamu bisa pulang besok pagi, kamu bisa pakai mobil hotel.'' Lalu sejumlah ucapan dukacita kuterima.
Pagi-pagi aku telah dibangunkan. Mobil telah siap, katanya melalui ponselku, bukan mobil hotel, mereka tidak bisa menyediakannya hari ini, tapi aku telah mendapatkan mobil yang lain. Ya, sebentar. Aku bersiap sebentar. Aku turut berduka, katanya, lewat pesan pendek. Terima kasih. Dan selanjutnya adalah jalan-jalan yang basah sehabis hujan, menikung-nikung di sela pegunungan yang masih berselimut kabut. Kota S memang terletak di lembah yang disusun sejumlah gunung. Aku diam sepanjang perjalanan, menyusur rute yang tadi malam ditempuh berita kematian nenekku, mengumpulkan lagi sejumlah kenangan tentangnya.
Di perjumpaan terakhir, ia bahkan sudah lupa siapa aku, cucu emasnya. Ia mengira aku penjual mi ayam yang saban hari lewat di depan rumahnya. Aku tertawa, sebagaimana aku biasa menertawakannya. Bedanya, saat itu aku tertawa karena tidak tahu harus berbuat apa. Aku tak bisa mengerti, kenapa dengan mudahnya ingatan seseorang terhapus begitu saja tanpa sisa. Sementara beberapa bulan yang lalu, ketika Lebaran, ketika aku datang dengan istri dan anakku, ia masih sanggup mengingat seluruh nama kami dengan benar.
Semuanya berlangsung dengan cepat, Wang, kata budeku, kakak perempuan ayahku yang tertua. Aku sekarang tinggal di sini untuk menemani nenekmu. Ke mana-mana ia harus ditemani. Aku segera teringat anakku yang membuat aku dan istriku sering bersitegang tentang siapa di antara kami yang harus menemaninya. Aku mengangguk-angguk mendengar penjelasan bude. Membayangkan kesulitannya. Bude tinggal di Kota C, kota kecil di tepi pantai, berjarak 5 jam perjalanan dari kota J, tempat kami tinggal. Bude menggantungkan hidupnya dari membuka warung kelontong kecil di kampungnya. Dan sekarang ia harus ditopang anak-anaknya untuk bisa terus-menerus menemani nenekku. Seluruh penjelasan bude bernada keluhan, juga pertanyaan kenapa bukan kami yang tinggal satu kota yang menemani nenek. Aku pergi dengan sejumlah perasaan bersalah. Itulah terakhir kali aku bertemu dengan nenekku.
Sebelumnya, aku jarang sekali bisa bertemu dengan nenek. Hanya di hari Lebaran aku bisa yakin bertemu dengannya. Selebihnya adalah ketidaktepatan. Dua tahun terakhir sebelum hari kematiannya, nenekku memutuskan untuk bolak-balik dari Kota J dan C. Dua minggu di J dan dua minggu di C. Demikian seterusnya. Ia merasa hari akhirnya sudah dekat, dan merasa perlu berdekat-dekatan dengan seluruh anak-anaknya. Suaminya, kakekku, sudah lama pergi mendahului, 18 tahun yang lalu. Aku sempat 5 tahun tinggal bersama nenek, ketika secara kebetulan ibuku menyusul kakekku dua bulan setelahnya. Inilah yang membuatku memiliki hubungan khusus dengan nenekku, jika dibandingkan dengan cucu-cucunya yang lain. Nenekku merasa berutang padaku karena kakekku mengajak ibuku pergi ke alam kematian. Ia membayangkan di sana ibukulah yang merawat dan menemani kakekku. Maka ia pun harus berbuat demikian terhadapku. Selain juga, dan ini yang lebih bisa diterima, aku masih terlalu kecil untuk hidup tanpa seorang ibu.
Hubungan intim ini hanya berlangsung 5 tahun. Ayahku kawin lagi dan aku harus kembali serumah dengannya. Tak ada alasan lagi bagiku untuk tetap tinggal bersama nenek. Hanya beberapa bulan aku betah tinggal di rumah. Setelah hampir saban hari bertengkar dengan ibu baru, aku memutuskan pergi. Tapi bukan ke rumah nenek.
Masih lama, Pak? Tanyaku kepada sopir yang membawaku. Bentar lagi, Mas. Ini sudah masuk M. Hujan memperlambat kita. Tadi waktu saya berangkat menjemput tidak selama ini kok. Tentu saja aku cuma basa-basi. Aku malah tak ingin cepat-cepat sampai. Tenang, Mas. Sampai pada waktunya kok. Dimakamkan pukul 10 kan? Aku mengangguk. Dan menyalakan rokok. Boleh ngrokok kan, Pak? Tanyaku. Sekali lagi basa-basi. Gak pa-pa, Mas. Saya juga ngrokok kok. Ia juga menyalakan rokok. Lalu ruangan kami pun turut berkabut. Dalam kepalaku juga berkabut.
''Ibumu sudah berani kurang ajar,'' kata nenekku, suatu saat ketika aku diam-diam menjenguknya di awal-awal pelarianku. Ibuku? Kataku. Aku selalu tak terima jika perempuan yang dikawini ayahku itu disebut-sebut sebagai ibuku. Ibuku sudah meninggal, kataku kepada nenek yang tentu saja sudah tahu, sebagaimana ia tahu bahwa suaminya sudah meninggal. Ia berani mengusirku dari rumahku. Tambah nenekku dengan bersungut-sungut. Perempuan macam apa itu? Beda banget dengan ibumu yang dulu. Ia menyelipkan beberapa lembar uang ribuan ke sakuku ketika aku pamit pergi. ''Hati-hati. Jangan mabuk-mabukan di jalan kayak preman. Pesannya.'' Aku mengangguk dan tak pernah memenuhi pesannya. Ia tak pernah tahu. Ia juga tak tahu bahwa aku selalu mencopot antingku sesaat sebelum bertemu dengannya. Jangan sampai tahu. Bahwa duit-duit yang selalu diselipkannya ke sakuku selalu berubah menjadi batangan-batangan rokok dan kadang lebih parah dari itu, batangan-batangan rokok yang lebih kecil yang membuatku bisa melupakan nenekku.
Dari tahun ke tahun tak ada yang berubah. Nenekku masih terus bersungut-sungut jika membicarakan istri ayahku hingga ia pada saatnya lelah dan terselap. Hanya aku yang mulai berubah. Aku sudah berani merokok di depannya. Aku tak perlu mencopot antingku jika bercengkerama dengannya. Aku mulai berani meninggalkannya hingga kabar kematiannya berhasil menemukanku, beberapa saat yang lalu.
Jalan ditutup. Bendera putih. Mobil yang mengantarku tak bisa masuk sampai ke depan rumah duka. Dua orang sepupuku langsung menyambutku. Aku berjalan cepat melintas di depan kursi-kursi pelayatan yang hampir seluruhnya terisi. Aku terus berjalan. Sesekali berhenti untuk berjabat tangan. Hanya tangan-tangan kanan. Tanpa nama tanpa wajah. Aku langsung menuju rumahku yang terletak di samping rumah nenekku. Meletakkan tas dan mencuci muka. Lalu segera bergabung dengan mereka yang berduka, paman, bibi, dan sejumlah sepupuku. Aku bahkan belum melihat ayahku.
Ia meninggal dengan tenang, kata bude. Kemarin siang ia memintaku mengantarnya ke tempat tidur. Lalu ia tidur dan tak pernah bangun lagi. Kami sudah berusaha meneleponmu tapi tak bisa. Baru malamnya masmu bisa mengontakmu. Aku manggut-manggut. Seperti mendengar nenekku sendiri yang bercerita tentang kematiannya. Budeku yang sekarang diam-diam mengingatkanku pada nenek 18 tahun yang lalu, saat ia merawatku. Bude terus bercerita, sebagaimana terakhir kali aku bertemu dengannya, tapi kali ini tak ada nada keluh. Aku hanya mencium kesedihan, juga kelegaan. Entah mana yang paling keras dan santer.
Seseorang memanggilku. Ayahku. Memintaku salin baju. Aku baru sadar bahwa pakaianku tak layak untuk hadir dalam upacara kesedihan. Aku masih memakai oblong yang sejak kemarin pagi sudah kukenakan. Aku tak bawa baju, kilahku. Kesedihan tak pernah punya pakaian, batinku. Tapi aku menurut saja ketika ia menggandengku ke kamarnya. Memilih kemeja yang seukuran dengan badanku.
Mana anak-istrimu? Aku tahu ia akan menanyakannya. Tetap saja aku kebingungan menjawabnya. Karena kupikir mereka sudah berangkat sendiri ke sini. Aku cuma bilang bahwa aku dari Kota S, tergesa-gesa dan tak sempat mampir ke rumah. Aku tak bilang bahwa kami sudah pisah rumah selama satu tahun ini. Kemarin sore adikmu ke rumahmu. Tapi kosong. Ya. Kataku tak sedang menjawab apa-apa.
Aku mengambil sebuah tempat duduk. Merokok. Menyibukkan diri dengan kematian-kematian yang lain. Yang tak kalah menyedihkan. Tapi tetap saja aku tak mampu menamai perasaanku saat ini. Perasaan yang sama ketika kakekku meninggal, ibuku meninggal dan istriku meninggalkanku. Aku tak pernah mengenalinya, meski sudah berulang kali mendatangiku. Biarlah. Toh aku tak akan memanggilnya. Biarlah ia datang jika memang ingin menemuiku.
Aku masih tetap duduk di tempat yang sama ketika keranda nenekku dibawa ke halaman. Aku sibuk mengingat-ingat di mana aku duduk pada kematian-kematian sebelumnya.



No comments: