Saturday, May 5, 2007

Kejahatan dan Pemberontakan


ADA hantu dalam kehidupan kita! Semua orang merasa ketakutan oleh monster ini. Hantu yang jahat dari segala macam monster adalah "kejahatan" itu sendiri. Di kampus sampai di Rektorat, hantu itu selalu ada. Kadang berbentuk kekhawatiran kadang berbentuk kecemasan dan ada kalanya pula berbentuk kesadaran yang paling logis. Semua menyusup di ruang batin kita secara akumulatif.

Berbagai usaha melenyapkannya selalu gagal; agama hanya memberikan harapan, neurosisme yang paling semu untuk tidak terlalu jauh terlibat dalam wilayah realitas. Ilmu pengetahuan hanya berhasil mendeteksi kejahatan dalam bingkai yang paling logis. Ya, kejahatan itu logis adanya, struktural dan kultural, serta mengglobal adanya.

Kita saksikan itu!

Bukan sekadar dalam bentuk korupsinya orang berdasi, pencopetan seorang laki-laki di angkutan umum untuk sekedar memberi sesuap nasi anak istrinya atau perempuan yang mengiba dengan tangisnya untuk diampuni dosa selingkuhnya atau juga semacam kejahatan dalam bentuk religius berupa ambisi kekuasaan seseorang dengan meneriakkan slogan Tuhan. Kejahatan ini terasa lekat dalam diri kita. Ironisnya, kita tak mampu mengubahnya.

Sikap yang paling realistis kemudian hanya terungkap dalam kutuk dan menjauhkan diri seraya menonton dengan sikap sinis sekaligus terkagum-kagum. Kejahatan yang telah mengalir membuat kita selalu tak berdaya namun ia terus menyusup dalam wilayah kualitatif logika dan melekat dalam ruang batin yang mahapeka ini. Karena itu, nalar dan perasaan kita kemudian menyerap secara bersamaan, berusaha menolak kehadirannya, namun sekaligus menyetubuhi dengan mesra.

Para intelektual pun hanya mampu memberikan kategori, selebihnya setiap orang hanya bisa mengeluh dan kemudin terlibat tanpa sadar dan selanjutnya menjadi penjahat dalam bentuk-bentuk sikap yang nyata. Kita kemudian menjadi manusia-manusia jahat di tengah ketidakberdayaan sikap menentangnya. Dalih "kita tidak jahat hanya karena tidak melakukan" bukanlah sesuatu yang dibenarkan akal sehat. Karena membiarkan kejahatan toh pada dasarnya sama dengan para penjahat. Hanya "kesempatan" dan "spontanitas" yang membedakan.

Betapa susahnya seseorang untuk tidak jahat karena untuk tidak jahat harus bersikap tegas menentangnya. Menentang berarti tindakan pemberontakan yang akhirnya harus merelakan diri menjadi "bangkai". Binggung jadinya! Semua menjadi binggung.

Bahkan, seorang Albert Camus pun kebinggungan karenanya. Kecuali manifestasi memberontak dan bunuh diri selebihnya yang paling bisa diambil dari karyanya adalah pengkategorian motif dalam bentuk realismenya. Ada dua motif kejahatan menurutnya. Yang satu berlandaskan nafsu yang satunya lagi berlandaskan logika. Batas antarkeduanya tidak jelas. Tetapi, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana membuat perbedaan yang meyakinkan, yaitu tentang adanya prameditasi (premiditation), yaitu pemikiran atau perencanaan yang dilakukan atau dipersiapkan lebih dulu.

Kita hidup dalam suatu era prameditasi dan kejahatan yang sempurna.
Para penjahat itu bukan lagi anak-anak yang nakalnya minta ampun yang memakai dalih cinta untuk dimaafkan. Tetapi sebaliknya, penjahat-penjahat itu adalah orang-orang dewasa dan mereka mempunyai alibi yang sempurna. Filsafat yang dapat digunakan untuk berbagai tujuan bahkan untuk mengubah pembunuh(an)-pembuhun(an) itu menjadi hakim-hakim yang paling dihormati.

Ini tak hanya terjadi pada zaman kita hidup sekarang dengan pengandaian kejahatan struktural, kultural sekaligus mengglobal. Ini juga telah menyejarah. Deteksi yang paling mudah bisa kita saksikan dari klaim-klaim ideologis. Di masa lalu kita mengenal satu istilah bernama fasisme. Sebuah ideologi yang lahir dari kecemasan manusia untuk melepaskan kejahatan orang lain namun dengan cara yang jahat dan secara tegas menjadi ideologi paling jahat dibandingkan lainnya.

Di luar analisis struktural dan kultural kenapa tumbuhnya fasisme modusnya teramat sederhana, ketidakmampuan menjadi manusia merdeka. Errich Fromm, seorang ahli ilmu jiwa menguraikan bahwa ketika manusia yang bangkit menjadi individu akan selalu dihadapkan pada dua pilihan, apakah dia bersatu dengan dunia yang berdasarkan cinta kasih dan produktivitas atau dia mencari keselamatan secara buta dengan meleburkan dirinya ke dalam kekuatan luar dan menghancurkan kemerdekaan dan kemandiriannya sebagai individu.

Pada pilihan yang kedua ini orang memang jadi merasa "bahagia" karena tak usah berpikir sendiri dan tidak usah bertanggung jawab. Meskipun harga yang harus dia bayar adalah kemerdekaanya sendiri. Gejala inilah yang oleh Fromm kemudian dinamakan sebagai kecenderungan kebanyakan manusia untuk takut kepada kemerdekaan karena kemerdekaan berarti bertanggung jawab terhadap pilihannya.

Inilah dilema yang paling dekat kita rasakan kehendak memilih menjadi manusia merdeka, jujur, humanis, dan penuh cinta kasih adalah keinginan semua orang. Namun, dengan belenggu kejahatan itu rupanya mentalitas kita tidak mengizinkan. Lagi-lagi, setiap keinginan kita selalu saja terkait dengan kekuatan mentalitas. Karena itu, sebelum memasuki tahap pemberontakan terhadap luar, kita harus memberontak terhadap kejahatan dalam diri. Tahap ini kita sering mengalami kekalahan dan kefrustrasian.

Memproses diri menjadi manusia bebas dari segala macam bentuk dominasi dan hegemoni adalah tugas manusiawi. Melepaskan diri dari belengggu kejahatan adalah salah satu upaya pembebasan mendasar. Mengikuti secara linier alur hidup yang penuh kejahatan sesunguhnya adalah sikap jahat yang akan menciptakan fasisme-fasisme baru dalam masyarakat kita. Namun, beranikah kita memberontak

resensi dari (FAIZ M)

No comments: