Tuesday, August 7, 2007

Malam minggu di Bukit Turgo”makam Syekh Jumadil Qubro”

Syekh Jumadil Qubro adalah tokoh yang sering disebutkan dalam berbagai babad dan cerita rakyat sebagai salah seorang pelopor penyebaran Islam di tanah Jawa. Ia umumnya dianggap bukan keturunan Jawa, melainkan berasal dari Asia Tengah. Terdapat beberapa versi babad yang meyakini bahwa ia adalah keturunan ke-10 dari Husain bin Ali, yaitu cucu Nabi Muhammad SAW. Sedangkan Martin van Bruinessen (1994) menyatakan bahwa ia adalah tokoh yang sama dengan Jamaluddin Akbar (lihat keterangan Syekh Maulana Akbar di bawah).
Sebagian babad berpendapat bahwa Syekh Jumadil Qubro memiliki dua anak, yaitu Maulana Malik Ibrahim dan Maulana Ishaq, yang bersama-sama dengannya datang ke pulau Jawa. Syekh Jumadil Qubro kemudian tetap di Jawa, Maulana Malik Ibrahim ke Champa, dan adiknya Maulana Ishaq mengislamkan Samudera Pasai. Dengan demikian, beberapa Walisongo yaitu Sunan Ampel (Raden Rahmat) dan Sunan Giri (Raden Paku) adalah cucunya; sedangkan Sunan Bonang, Sunan Drajad dan Sunan Kudus adalah buyutnya. Hal tersebut menyebabkan adanya pendapat yang mengatakan bahwa para Walisongo merupakan keturunan etnis Uzbek yang dominan di Asia Tengah, selain kemungkinan lainnya yaitu etnis Persia, Gujarat, ataupun Hadramaut.
Makamnya terdapat di beberapa tempat yaitu di Semarang, Trowulan, atau di desa Turgo (dekat Pelawangan, Puncak pegunungan Turgo sekitar Merapi, Yogyakarta). Belum diketahui yang mana yang betul-betul merupakan kuburnya.



Tanggal 4 Agustus 2007, sabtu malam minggu sekitar pukul 19.00 aku berangkat ke makam KH Cudhori tegalrejo magelang untuk berziarah dan sowan (menghadap) KH Durrahman Kudhori. Aku memang punya maksud lain datang ketempat itu untuk menemui teman musyafir yang datang dari jawa timur tepatnya lamongan namun dia lama nyantri di beberapa pondok pesantren, dan salah satunya di Kudus, Demak untuk mengafalkan Al Quran.
Aku bertemu dengannya memang tanpa sengaja di makam KH Dalhar Gunung Pring, Muntilan saat dia singgah 41 hari dan menghatamkan 13 kali Al Quran, waktu itu aku juga sedang ngaji di Gunung Pring 41 hari juga karena aku malas pulang dan suka tidur diluar rumah mendingan aku bermalam di gunung Pring lagian disana ada koprasi santri yang buka 24 jam jadi untuk urusan makan dan minum bisa terjamin. Setiap malam-malam yang kulalui aku hanya diteman dengan seorang teman namanya sastro
Waktu tanpa terasa berlalu dengan cepat aku sudah 21 hari ngaji di gunung pring, bertepatan dengan itu datanglah seorang musyafir dari jawa timur. Musyafi yang berniat menghafal Al Quran itu biasa di sebut kang Gondrong menurutnya dia telah berjalan menelusuri pulau jawa dan sumatera dan dilakukan jalan kaki. Hari pertama pertemuan aku belum begitu menanggapi tapi seiring berjalannya waktu dan seringnya aku ngobrol masalah hukum dikitab-kitab aku jadi dekat dengannya. Hukum sunah dan hukum wajib dalam ajaran Islam yang semakin lama semakin ditinggalkan antaranya beberapa syariah tentang tata cara tahlil, berziarah, berpakaian dengan tata cara agama serta bagaimana cara menghindari hidup kita dari fitnah. Kami juga membandingkan antara ilmu logika marx, higel dan tan malaka dengan beberapa kitab yang pernah dia pelajari.
Kang Jalil memang ahli dalam bidang kitab dari bab sufi sampai bab tafsir Al Quran, di tambah lagi dengan beberapa pengalaman dan kepandaianya untuk hidup di jalan yang terkenal keras dan penuh maksiad. Menghadapi beberapa masalah yang ada dalam setiap perjalanan yang kang jalil lewati menorehkan banyak cobaan yang dia hadapi sebagai musyafir yang bertujuan untuk menghafal Al Quran. Entah pada malam keberapa saya, kang jalil dan beberapa orang yang sedang berziarah ke makam KH Dalhar ngbrol membicarakan beberapa wali dan syekh yang ada di pulau jawa ini, sampai ada yang membicarakan bukit turgo yang diatasnya ada makam syekh Jumadil Qubro yang dikenal sebagai bapak dari Maulana Malik Ibrahim tokoh tertua dari cerita Wali Songo.
Sebuah pemikiran pun tumbuh bagikan benih tumbuhan yang terus bermekaran dalam sarang otak. Tiba-tiba aku dan kang Jalil mempunyai pikiran untuk berziarah ke makam Syekh Jumadil Qubro setelah kang jalil menyelesaikan hafalaSebuah pemikiran pun tumbuh bagikan benih tumbuhan yang terus bermekaran dalam sarang otak. Tiba-tiba aku dan kang Jalil mempunyai pikiran untuk berziarah ke makam Syekh Jumadil Qubro setelah kang jalil menyelesaikan hafalannya yang ke13 dimakam KH Dalhar dan pergi ke KH Nur Muhammad serta mamir kerumah teman saat dia nyantri di Kudus, dan ternyata temannya itu aku juga kenal. Sekalian saja kang jalil ku ajak kerumahku dan kuantar ketemannya.
Selang 2 hari dari pertemuan antara kang jalil dengan temannya itu aku dengar kabar kalau kang jalil berada di jejeran Bantul tuk tiga hari. Dan hari sabtu tanggal 4 agustus kemarin kang jalil sudah berada di magelang lagi tepatnya di Tegalrejo dirumah teman saat dia nyantri di Cirebon. aku di SMS sore kang jalil memberikan kabar keberadaannya dan menayakan jadi tidak kita pergi ke Turgo? Aku langsung menelfon dia dan menyatakan sanggup. Sekitar jam 20.00 aku sudah berada di Tegalrejo.
Kami bertiga berangkat keturgo sekitar pukul 22.00 jadi sampai dikakibukit jam 23.00. kami langsung membangunkan jurukunci untuk menitipkan kendaraan tanpa menunggu lama kami bertiga langsung naik kebukit Tugo berbekalkan senter Korek yang penerangannya sangat terbatas. Dalam setiap perjalanan kami sempat merasakan beberapa suasana yang berbeda-beda. Saat kami mau masuk ke gerbang jalan ke makam entah mengapa perasaan dan hati kami berdetak kencang diikuti berdirinya bulu kuduk kami. Suasana mistis sangat kental tapi kami tidak begitu nenghiraukannya langkah tetap diteruskan sekitar setengah perjalanan kami menemukan dua batang kayu yang kering sudah siap bakar kami beranggapan diatas banyak batuan serta bisa kita gunakan untuk api unggun agar tubuh kami bisa hanggat.
Perjalanan pun usai kami sudah berada di puncak bukit itu tapi sebelum kami ke makam syekh Jumadil Qubro kami menemukan sebuah Gua yang oleh masyarakt sekitar di sebut Goa Jepang karena merupakan salah satu peninggalan jepang saat penjajahan waktu dulu untuk penjagaan keamanan wilayah Yogyakarta dan sekitar dari serangan sekutu. Kami hanya melihat dari luar dan langsung naik kemakam. Heran bukan kepalang ternyata di atas bukit ini ada satu makam yang sudah dibangun dengan megah. Kami langsung naik dan melepaskan letih sejenak sambil membakar sebatang rokok. Sekitar jam 01.30 dini hari kami bertiga mulai TAHLIL sambil diterangi cahaya bulan. Satu jam untuk TAHLIL dan menghafal AL Quran kami pun selesai berniat untuk tidur agar besok saat kami turun badan kami sudah fit.
Entah mengapa malam itu aku tertidur paling pules sedangkan Sasto dan Kang Jalil hanya tidur sayu sampai subuh.




No comments: